Di Jawa Barat Sri Baduga ini lebih dikenal dengan nama Prabu Siliwangi. Nama Siliwangi sudah tercatat dalam Kropak 630 sebagai lakon pantun. Naskah itu ditulis tahun 1518 ketika Sri Baduga masih hidup. Lakon Prabu Siliwangi dalam berbagai versinya berintikan kisah tokoh ini menjadi raja di Pakuan. Peristiwa itu dari segi sejarah berarti saat Sri Baduga mempunyai kekuasaan yang sama besarnya dengan Wastu Kancana (kakeknya) alias Prabu Wangi (menurut pandangan para pujangga Sunda).
Menurut tradisi lama. orang segan atau tidak boleh menyebut gelar raja yang sesungguhnya, maka juru pantun mempopulerkan sebutan Siliwangi. Dengan nama itulah ia dikenal dalam literatur Sunda. Wangsakerta pun mengungkapkan bahwa Siliwangi bukan nama pribadi, ia menulis:
"Kawalya ta wwang Sunda lawan ika wwang Carbon mwang sakweh ira wwang Jawa Kulwan anyebuta Prabhu Siliwangi raja Pajajaran. Dadyeka dudu ngaran swaraga nira".
Indonesia: Hanya orang Sunda dan orang Cirebon serta semua orang Jawa Barat yang menyebut Prabu Siliwangi raja Pajajaran. Jadi nama itu bukan nama pribadinya.
Masa muda
Waktu mudanya Sri Baduga terkenal sebagai kesatria pemberani dan tangkas bahkan satu-satunya yang pernah mengalahkan Ratu Japura (Amuk Murugul) waktu bersaing memperbutkan Subanglarang (istri kedua Prabu Siliwangi yang beragama Islam). Dalam berbagai hal, orang sejamannya teringat kepada kebesaran mendiang buyutnya (Prabu Maharaja Lingga Buana) yang gugur di Bubat yang digelari Prabu Wangi.
Tentang hal itu, Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara II/2 mengungkapkan bahwa orang Sunda menganggap Sri Baduga sebagai pengganti Prabu Wangi, sebagai silih yang telah hilang. Naskahnya berisi sebagai berikut (artinya saja):
"Di medan perang Bubat ia banyak membinasakan musuhnya karena Prabu Maharaja sangat menguasai ilmu senjata dan mahir berperang, tidak mau negaranya diperintah dan dijajah orang lain.
Ia berani menghadapi pasukan besar Majapahit yang dipimpin oleh sang Patih Gajah Mada yang jumlahnya tidak terhitung. Oleh karena itu, ia bersama semua pengiringnya gugur tidak tersisa.
Ia senantiasa mengharapkan kemakmuran dan kesejahteraan hidup rakyatnya di seluruh bumi Jawa Barat. Kemashurannya sampai kepada beberapa negara di pulau-pulau Dwipantara atau Nusantara namanya yang lain. Kemashuran Sang Prabu Maharaja membangkitkan (rasa bangga kepada) keluarga, menteri-menteri kerajaan, angkatan perang dan rakyat Jawa Barat. Oleh karena itu nama Prabu Maharaja mewangi. Selanjutnya ia di sebut Prabu Wangi. Dan keturunannya lalu disebut dengan nama Prabu Siliwangi. Demikianlah menurut penuturan orang Sunda".
Perang Bubat
Kesenjangan antara pendapat orang Sunda dengan kenyataan sejarah seperti yang diungkapkan di atas mudah dijajagi. Pangeran Wangsakerta, penanggung jawab penyusunan Sejarah Nusantara, menganggap bahwa tokoh Prabu Wangi adalah Maharaja Linggabuana yang gugur di Bubat, sedangkan penggantinya ("silih"nya) bukan Sri Baduga melainkan Wastu Kancana (kakek Sri Baduga, yang menurut naskah Wastu Kancana disebut juga Prabu Wangisutah).
Nah, orang Sunda tidak memperhatikan perbedaan ini sehingga menganggap Prabu Siliwangi sebagai putera Wastu Kancana (Prabu Anggalarang). Tetapi dalam Carita Parahiyangan disebutkan bahwa Niskala Wastu Kancana itu adalah "seuweu" Prabu Wangi. Mengapa Dewa Niskala (ayah Sri Baduga) dilewat? Ini disebabkan Dewa Niskala hanya menjadi penguasa Galuh. Dalam hubungan ini tokoh Sri Baduga memang penerus "langsung" dari Wastu Kancana. Menurut Pustaka Rajyarajya I Bhumi Nusantara II/4, ayah dan mertua Sri Baduga (Dewa Niskala dan Susuktunggal) hanya bergelar Prabu, sedangkan Jayadewata bergelar Maharaja (sama seperti kakeknya Wastu Kancana sebagai penguasa Sunda-Galuh).
Dengan demikian, seperti diutarakan Amir Sutaarga (1965), Sri Baduga itu dianggap sebagai "silih" (pengganti) Prabu Wangi Wastu Kancana (oleh Pangeran Wangsakerta disebut Prabu Wangisutah). "Silih" dalam pengertian kekuasaan ini oleh para pujangga babad yang kemudian ditanggapi sebagai pergantian generasi langsung dari ayah kepada anak sehingga Prabu Siliwangi dianggap putera Wastu Kancana.
Kebijakan Sri Baduga dan Kehidupan Sosial
Tindakan pertama yang diambil oleh Sri Baduga setelah resmi dinobatkan jadi raja adalah menunaikan amanat dari kakeknya (Wastu Kancana) yang disampaikan melalui ayahnya (Ningrat Kancana) ketika ia masih menjadi mangkubumi di Kawali. Isi pesan ini bisa ditemukan pada salah satu prasasti peninggalan Sri Baduga di Kebantenan. Isinya sebagai berikut (artinya saja):
Semoga selamat. Ini tanda peringatan bagi Rahyang Niskala Wastu Kancana. Turun kepada Rahyang Ningrat Kancana, maka selanjutnya kepada Susuhunan sekarang di Pakuan Pajajaran. Harus menitipkan ibukota di Jayagiri dan ibukota di Sunda Sembawa.
Semoga ada yang mengurusnya. Jangan memberatkannya dengan "dasa", "calagra", "kapas timbang", dan "pare dongdang".
Maka diperintahkan kepada para petugas muara agar jangan memungut bea. Karena merekalah yang selalu berbakti dan membaktikan diri kepada ajaran-ajaran. Merekalah yang tegas mengamalkan peraturan dewa.
Dengan tegas di sini disebut "dayeuhan" (ibukota) di Jayagiri dan Sunda Sembawa. Penduduk kedua dayeuh ini dibebaskan dari 4 macam pajak, yaitu "dasa" (pajak tenaga perorangan), "calagra" (pajak tenaga kolektif), "kapas timbang" (kapas 10 pikul) dan "pare dondang" (padi 1 gotongan). Dalam kropak 630, urutan pajak tersebut adalah dasa, calagra, "upeti", "panggeureus reuma".
Dalam koropak 406 disebutkan bahwa dari daerah Kandang Wesi (sekarang Bungbulang, Garut) harus membawa "kapas sapuluh carangka" (10 carangka = 10 pikul = 1 timbang atau menurut Coolsma, 1 caeng timbang) sebagai upeti ke Pakuan tiap tahun. Kapas termasuk upeti. Jadi tidak dikenakan kepada rakyat secara perorangan, melainkan kepada penguasa setempat.
"Pare dondang" disebut "panggeres reuma". Panggeres adalah hasil lebih atau hasil cuma-cuma tanpa usaha. Reuma adalah bekas ladang. Jadi, padi yang tumbuh terlambat (turiang) di bekas ladang setelah dipanen dan kemudian ditinggalkan karena petani membuka ladang baru, menjadi hak raja atau penguasa setempat (tohaan). Dongdang adalah alat pikul seperti "tempat tidur" persegi empat yang diberi tali atau tangkai berlubang untuk memasukan pikulan. Dondang harus selalu digotong. Karena bertali atau bertangkai, waktu digotong selalu berayun sehingga disebut "dondang" (berayun). Dondang pun khusus dipakai untuk membawa barang antaran pada selamatan atau arak-arakan. Oleh karena itu, "pare dongdang" atau "penggeres reuma" ini lebih bersifat barang antaran.
Pajak yang benar-benar hanyalah pajak tenaga dalam bentuk "dasa" dan "calagra" (Di Majapahit disebut "walaghara = pasukan kerja bakti). Tugas-tugas yang harus dilaksanakan untuk kepentingan raja diantaranya : menangkap ikan, berburu, memelihara saluran air (ngikis), bekerja di ladang atau di "serang ageung" (ladang kerajaan yang hasil padinya di peruntukkan bagi upacara resmi).
Dalam kropak 630 disebutkan "wwang tani bakti di wado" (petani tunduk kepada wado). Wado atau wadwa ialah prajurit kerajaan yang memimpin calagara. Sistem dasa dan calagara ini terus berlanjut setelah jaman kerajaan. Belanda yang di negaranya tidak mengenal sistem semacam ini memanfaatkanna untuk "rodi". Bentuk dasa diubah menjadi "Heerendiensten" (bekerja di tanah milik penguasa atau pembesar). Calagara diubah menjadi "Algemeenediensten" (dinas umum) atau "Campongdiesnten" (dinas Kampung) yang menyangkut kepentingan umum, seperti pemeliharaan saluran air, jalan, rumah jada dan keamanan. Jenis pertama dilakukan tanpa imbalan apa-apa, sedangkan jenis kedua dilakuan dengan imbalan dan makan. "Preangerstelsel" dan "Cultuurstelsel" yang keduanya berupa sistem tanam paksa memanfaatkan tradisi pajak tenaga ini.
Dalam akhir abad ke-19 bentuknya berubah menjadi "lakon gawe" dan berlaku untuk tingkat desa. Karena bersifat pajak, ada sangsi untuk mereka yang melalaikannya. Dari sinilah orang Sunda mempunyai peribahasa "puraga tamba kadengda" (bekerja sekedar untuk menghindari hukuman atau dendaan). Bentuk dasa pada dasarnya tetap berlangsung. Di desa ada kewajiban "gebagan" yaitu bekerja di sawah bengkok dan ti tingkat kabupaten bekerja untuk menggarap tanah para pembesar setempat.
Jadi "gotong royong tradisional berupa bekerja untuk kepentingan umum atas perintah kepala desa", menurut sejarahnya bukanlah gotong royong. Memang tradisional, tetapi ide dasarnya adalah pajak dalam bentuk tenaga. Dalam Pustaka Jawadwipa disebut karyabhakti dan sudah dikenal pada masa Tarumanagara dalam abad ke-5.
Piagam-piagam Sri Baduga lainnya berupa "piteket" karena langsung merupakan perintahnya. Isinya tidak hanya pembebasan pajak tetapi juga penetapan batas-batas "kabuyutan" di Sunda Sembawa dan Gunung Samaya yang dinyatakan sebagai "lurah kwikuan" yang disebut juga desa perdikan, desa bebas pajak.
Gelar "Sripaduka" ( Sri Baduga ) pada zaman Pajajaran Nagara disandang oleh 3 tokoh : 1. Wastukancana / Rd. Pitara Wangisuta / SRI PADUKA MAHARAJA PRABU GURU DEWATA PURANA RATU HAJI DI PAKUAN PAJAJARAN SANG RATU KARANTEN ( KARA ANTEN ) RAKEYAN LAYARAN WANGI /SUNAN RUMENGGONG (RAMA HYANG AGUNG ) adik dari Dyah Pitaloka Citraresmi anak dari Rd. Kalagemet /Jayanagara II / Raja Sundayana di Galuh /Ratu Galuh di Panjalu / Maharaja Prabu Wangi dan merangkap Wali Nagari Hujung Galuh ( Majapahit-Pajajaran Wetan / Jawa Pawatan / Galuh - menjadi wali sang kakak Linggabuana/Jayanagara I/Maharaja Prabu Diwastu ayah dari Hayam Wuruk /Hyang Warok /Rd. Inu Kertapati /Susuk Tunggal /Prabumulih /Prabu Seda Keling /Sang Haliwungan /Pangeran Boros Ngora/Ra- Hyang Kancana )gugur pada "PERANG BUBAT" dalam pertempuran yang tidak "FAIR" atas "REKAYASA" Gajah Mada / Guan Eng Cu dan Nangganan /Ki Ageng Muntalarasa /Syekh BEN TONG!!!!,dengan cara dibokong dan di keroyok !!!
2. Mundinglayadikusumah / Rd. Samadullah Surawisesa Mundinglayadikusumah/SRI PADUKA MAHARAJA PRABU GURU GANTANGAN SANG SRI JAYA DEWATA /KEBO KENONGO /ARYA KUMETIR /RD.KUMETIR /KI AGENG PAMANAH RASA / SUNAN PAGULINGAN anak dari LINGGA HYANG / LINGGA WESI / HYANG BUNI SWARA /SRI SANGGRAMAWIJAYA TUGGAWARMAN /MAHAPATI ANAPAKEN ( MENAK PAKUAN )/ RD. H. PURWA ANDAYANINGRAT / SUNAN GIRI /HYANG TWAH / BATARA GURU NISKALAWASTU DI JAMPANG
3. MUNDINGWANGI/ SRI PADUKA MAHARAJA PRABU GURU DEWATAPRANA SANG PRABU GURU RATU DEWATA anak dari Wastukancana.
Rakeyan Mundinglaya
SILIWANGI I Rd. Samadullah Surawisesa Mundinglayadikusumah Sri Paduka Maharaja Prabu Guru Gantangan Sang Sri Jaya Dewata / Ki Ageng Pamanah Rasa / Sunan Pagulingan / Kebo Kenongo / Rd. Kumetir / Layang Kumetir
Rakeyan Mundingwangi
SILIWANGI II Rd.Salalangu Layakusumah Sri Paduka Maharaja Prabu Guru Dewata Prana Sang Prabu Guru Ratu Dewata / Kebo Anabrang ?
Rakeyan Mundingsari /Mundingkawati
SILIWANGI III Tumenggung Cakrabuana Wangsa Gopa Prana Sang Prabu Walangsungsang Dalem Martasinga Syekh Rachmat Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati I Ki Ageng Pamanahan / Kebo Mundaran ?
Peristiwa-peristiwa di masa pemerintahannya
Beberapa peristiwa menurut sumber-sumber sejarah:
[sunting] Carita Parahiyangan
Dalam sumber sejarah ini, pemerintahan Sri Baduga dilukiskan demikian :
"Purbatisi purbajati, mana mo kadatangan ku musuh ganal musuh alit. Suka kreta tang lor kidul kulon wetan kena kreta rasa. Tan kreta ja lakibi dina urang reya, ja loba di sanghiyang siksa".
(Ajaran dari leluhur dijunjung tinggi sehingga tidak akan kedatangan musuh, baik berupa laskar maupun penyakit batin. Senang sejahtera di utara, barat dan timur. Yang tidak merasa sejahtera hanyalah rumah tangga orang banyak yang serakah akan ajaran agama).
Dari Naskah ini dapat diketahui, bahwa pada saat itu telah banyak Rakyat Pajajaran yang beralih agama (Islam) dengan meninggalkan agama lama.
RAKEYAN MUNDINGSARI/MUNDINGKAWATI/TUMENGGUNG CAKRABUWANA WANGSA GOPA PRANA SANG PRABU WALANGSUNGSANG/DALEM MARTASINGA /SYEKH RACHMAT SYARIF HIDAYATULLAH SUNAN GUNUNG JATI I /KEBO ANABRANG ? SILIWANGI III /SUNAN RACHMAT adalah anak dari Hyang Warok / Susuk Tunggal /Sang Haliwungan
Pustaka Nagara Kretabhumi parwa I sarga 2.
Naskah ini menceritakan, bahwa pada tanggal 12 bagian terang bulan Caitra tahun 1404 Saka, Syarif Hidayat menghentikan pengiriman upeti yang seharusnya di bawa setiap tahun ke Pakuan Pajajaran. [Syarif Hidayat masih cucu Sri Baduga dari Lara Santang. Ia dijadikan raja oleh uanya (Pangeran Cakrabuana) dan menjadi raja merdeka di Pajajaran di Bumi Sunda (Jawa Barat)]
Ketika itu Sri Baduga baru saja menempati istana Sang Bhima (sebelumnya di Surawisesa). Kemudian diberitakan, bahwa pasukan Angkatan Laut Demak yang kuat berada di Pelabuhan Cirebon untuk menjada kemungkinan datangnya serangan Pajajaran.
Tumenggung Jagabaya beserta 60 anggota pasukannya yang dikirimkan dari Pakuan ke Cirebon, tidak mengetahui kehadiran pasukan Demak di sana. Jagabaya tak berdaya menghadapi pasukan gabungan Cirebon-Demak yang jumlahnya sangat besar. Setelah berunding, akhirnya Jagabaya menghamba dan masuk Islam.
Peristiwa itu membangkitkan kemarahan Sri Baduga. Pasukan besar segera disiapkan untuk menyerang Cirebon. Akan tetapi pengiriman pasukan itu dapat dicegah oleh Purohita (pendeta tertinggi) keraton Ki Purwa Galih. [Cirebon adalah daerah warisan Cakrabuana (Walangsungsang) dari mertuanya (Ki Danusela) dan daerah sekitarnya diwarisi dari kakeknya Ki Gedeng Tapa (Ayah Subanglarang).
Cakrabuana sendiri dinobatkan oleh Sri Baduga (sebelum menjadi Susuhunan) sebagai penguasa Cirebon dengan gelar Sri Mangana. Karena Syarif Hidayat dinobatkan oleh Cakrabuana dan juga masih cucu Sri Baduga, maka alasan pembatalan penyerangan itu bisa diterima oleh penguasa Pajajaran].
Demikianlah situasi yang dihadapi Sri Baduga pada awal masa pemerintahannya. Dapat dimaklumi kenapa ia mencurahkan perhatian kepada pembinaan agama, pembuatan parit pertahanan, memperkuat angkatan perang, membuat jalan dan menyusun PAGELARAN (formasi tempur). [Pajajaran adalah negara yang kuat di darat, tetapi lemah di laut.
Menurut sumber Portugis, di seluruh kerajaan, Pajajaran memiliki kira-kira 100.000 prajurit. Raja sendiri memiliki pasukan gajah sebanyak 40 ekor. Di laut, Pajajaran hanya memiliki enam buah Kapal Jung 150 ton dan beberaa lankaras (?) untuk kepentingan perdagangan antar-pulaunya (saat itu perdagangan kuda jenis Pariaman mencapai 4000 ekor/tahun)].
Keadaan makin tegang ketika hubungan Demak-Cirebon makin dikukuhkan dengan perkawinan putera-puteri dari kedua belah pihak. Ada empat pasangan yang dijodohkan, yaitu :
1. Pangeran Hasanudin dengan Ratu Ayu Kirana (Purnamasidi).
2. Ratu Ayu dengan Pangeran Sabrang Lor.
3. Pangeran Jayakelana dengan Ratu Pembayun.
4. Pangeran Bratakelana dengan Ratu Ayu Wulan (Ratu Nyawa).
Perkawinan Pangeran Sabrang Lor alias Yunus Abdul Kadir dengan Ratu Ayu terjadi 1511. Sebagai Senapati Sarjawala, panglima angkatan laut, Kerajaan Demak, Sabrang Lor untuk sementara berada di Cirebon.
Persekutuan Cirebon-Demak inilah yang sangat mencemaskan Sri Baduga di Pakuan. Tahun 1512, ia mengutus putera mahkota Surawisesa menghubungi Panglima Portugis Alfonso d'Albuquerque di Malaka (ketika itu baru saja gagal merebut Pelabuhan Pasai atau Samudra Pasai). Sebaliknya upaya Pajajaran ini telah pula meresahkan pihak Demak.
Pangeran Cakrabuana dan Susuhunan Jati (Syarif Hidayat) tetap menghormati Sri Baduga karena masing-masing sebagai ayah dan kakek. Oleh karena itu permusuhan antara Pajajaran dengan Cirebon tidak berkembang ke arah ketegangan yang melumpuhkan sektor-sektor pemerintahan. Sri Baduga hanya tidak senang hubungan Cirebon-Demak yang terlalu akrab, bukan terhadap Kerajaan Cirebon. Terhadap Islam, ia sendiri tidak membencinya karena salah seorang permaisurinya, Subanglarang, adalah seorang muslimah dan ketiga anaknya -- Walangsungsang alias Cakrabuana, Lara Santang, dan Raja Sangara -- diizinkan sejak kecil mengikuti agama ibunya (Islam).
Karena permusuhan tidak berlanjut ke arah pertumpahan darah, maka masing masing pihak dapat mengembangkan keadaan dalam negerinya. Demikianlah pemerintahan Sri Baduga dilukiskan sebagai jaman kesejahteraan (Carita Parahiyangan). Tome Pires ikut mencatat kemajuan jaman Sri Baduga dengan komentar "The Kingdom of Sunda is justly governed; they are true men" (Kerajaan Sunda diperintah dengan adil; mereka adalah orang-orang jujur).
Juga diberitakan kegiatan perdagangan Sunda dengan Malaka sampai ke kepulauan Maladewa (Maladiven). Jumlah merica bisa mencapai 1000 bahar (1 bahar = 3 pikul) setahun, bahkan hasil tammarin (asem) dikatakannya cukup untuk mengisi muatan 1000 kapal.
Naskah Kitab Waruga Jagat dari Sumedang dan Pancakaki Masalah karuhun Kabeh dari Ciamis yang ditulis dalam abad ke-18 dalam bahasa Jawa dan huruf Arab-pegon masih menyebut masa pemerintahan Sri Baduga ini dengan masa gemuh Pakuan (kemakmuran Pakuan) sehingga tak mengherankan bila hanya Sri Baduga yang kemudian diabadikan kebesarannya oleh raja penggantinya dalam jaman Pajajaran.
Sri Baduga Maharaja alias Prabu Siliwangi yang dalam Prasasti Tembaga Kebantenan disebut Susuhuna di Pakuan Pajajaran, memerintah selama 39 tahun (1482 - 1521). Ia disebut secara anumerta Sang Lumahing (Sang Mokteng) Rancamaya karena ia dipusarakan di Rancamaya.( diambil dari wikipedia -18/11-2008 )
SALAKA DOMAS
Tandang menak Pajajaran
Kadiya banteng bayangan
Sinatria pilih tanding
Tohpati jiwa jeung raga
Seja angkat mapag jurit
Najan di luhur langit
Hamo burung rek disusul
Sumujud ka ingkang rama
Prabu Agung Silihwangi
Layang domas layang domas
didamel jimat nolak bala
Sinatria Pajajaran
Putra silih Silihwangi
Estu panceg mamanahan
Seja moal waka mulih
Najan nemahan pati
Mun guriang tacan tumpur
Ngesto ka ibu ka rama
Sumambat ka Maha Suci
Teguh pengkug teguh pengkuh,
henteu unggut kalinduan.-
ASAL-USUL JAWA ( SUNDA ) 1
Babad dimulai dengan mengisahkan adanya pulau kosong yang ditumbuhi rumputan. Penghuninya hanyalah dewa kayu dan dewa batu. Asal mulanya ada manusia di pulau Jawa, adalah karena seorang raja menikahi puteri raja Mesir yang bernama Sri Putih. Raja dan isterinya lalu menetap di pulau kosong tersebut dengan membawa seribu orang Mesir dan seribu orang Selan. Mereka membawa benih Juwawut atau Jawawut dan ditanam untuk makanan di pulau kosong itu. Itulah sebabnya pulau kosong itu kemudian dinamakan pulau Jawa, berasal dari jawawut.
Raja dan isterinya mendirikan kerajaan di pulau Jawa, di Medang Kamulan, karena negeri itu bertanda gunung Medang Kamulan. Penduduknya bertambah dari dua ribu menjadi sepuluh ribu. Kerajaan dipindahkan dari Medang Kamulan ke Gunung Kidul, di tempat yang lebih tinggi. Kemudian pindah lagi ke Ngadon Ijo, pindah lagi ke Lodaya, pindah lagi ke Roban, pindah lagi ke Lombok, dan akhirnya pindah lagi ke Medang Agung, yakni Galuh yang sebenarnya.
Pada waktu itu rakyatnya telah berjumlah delapan belas ribu orang. Negara-negara yang ditinggalkan tersebut tak diceritakan lagi, karena dihuni oleh para siluman dan bangsa bunian ( roh halus?).
Ingatan kolektif yang samar-samar dari masyarakat Sunda tentang asal-usulnya ini, menyiratkan adanya dua kelompok masyarakat, yakni Sunda-ladang da kemudian Sunda-sawah. Apakah kondisi ini terjadi sebelum atau sesudah kedatangan “ Orang Mesir” ( Islam ) dan “Orang Selan”( India, Hindu), tidak jelas. Pengetahuan kita zaman sekarang menyebutkan bahwa Mesir dan India mengenal persawahan. Ini
menunjukkan keyakinan kuat mereka bahwa sejak awal masyarakat Sunda ini sudah Islam, meskipun tercampur juga dengan agama-agama India.
BABAD PAJAJARAN
Kemudian diceritakan tentang kerajaan Medang Agung Galuh atau Bojong Galuh, waktu itu Galuh terserang wabah, kecuali desa Cibungur. Desa itu tak terkena wabah karena saran seorang pendeta di Gunung Sirata. Begawan itu menganjurkan kepada penyumpit yang mematuhi perintah Begawan agar tak menyumpit burung disitu, sehingga ia menganjurkan kepada penyumpit untuk menyemburkan kunyahan sirih dan menanam daun sirih di desanya apabila wabah menyerang Negara.
Raja Galuh mendengar cerita itu menyuruh patihnya memanggil Begawan, tetapi tak mau datang. Raja marah dan menyuruh bunuh Begawan. Orang tua itu tak mempan segala senjata, dan atas kemauannya sendiri ia rela ditikam. Begawan itu mati di Gunung Padang, tetapi darahnya berubah menjadi air dan menimbulkan aliran sungai Cilawukung yang mengalir ke nusa Kalapa atau kali Jakarta.
Isteri Raja Galuh mengandung. Dalam mimpi, raja mendengar suara bahwa isi perut permaisurinya adalah penjelmaan Begawan yang ia suruh bunuh. Raja kemudian memanggil putera mahkota, Aria Bangga. Raja menyerahkan Negara kepadanya, karena ia hendak bertapa. Ketika kandungan permaisuri telah tiba waktunya, lahirlah seorang bayi lelaki yang tampan. Bayi lalu dibuang ke sungai. Bayi ditemukan oleh Aki dan Nyai Balangantrang, dan dibesarkannya ( pantun Ciung Wanara ).
Bayi yang dipelihara Aki Balangantrang itu memang dinamai Ciung Wanara. Ketika dewasa, berebut Negara dengan kakaknya, Aria Banga.Keduanya berperang, sama-sama kuat dan saktinya. Tak ada yang menang dan tak ada yang kalah. Keduanya ingat kata-kata ayah mereka, bahwa perang dengan saudara itu pamali.
Maka Negara dibagi dua, sebelah barat ( Jawa bagian Barat ) diperintah oleh Ciung Wanara, sedang Jawa bagian Timur diperintah oleh Aria Banga. Batas kedua Negara adalah sungai Cipamali, yang semula bernama sungai Cintamanis.
Tafsir atas bagian ini menyiratkan pemahaman Jawa dan Sunda itu sebagai saudara selaku Kakak dan adik. Kata raja Galuh, “perang dengan saudara “ itu pamali. Yang tua dari keturunan Galuh memerintah Jawa ( Majapahit ), sedang yang muda dari keturunan Galuh memerintah Sunda ( Pajajaran )
Cerita selanjutnya dimulai dengan Prabu Siliwangi dan puteranya Guru Gantangan, yang memakan tiga perempat abad!
PRABU SILIWANGI
PRABU SILIWANGI raja Pajajaran, beristeri padmi tiga orang, yakni Rajamantri atau Rembang Sari Dewata atau Ambetkasih dari Sumedang lama, Marajalarang Tapa dari Cirebon Girang, dan Kentring Manik Mayang Sunda dari Nusa Bima yang melahirkan Guru Gantangan di Sindang Barang. Di samping itu, Prabu Siliwangi juga masih mempunyai 150 isteri yang lain.
Yang menjadi Mentri Agung ialah Kyan Murugul atau Surabima Panji Wirajaya, kakak Rajamantri. Yang menjadi Patih adalah kakak Marajalarang, Ramacunta Tuan Paksajati. Yang menjadi penasehat, antara lain Begawan Bramanasakti,”orang seberang”.
Jumlah kakak ipar raja ada 13 orang, putranya 75 orang. Pada suatu hari raja sedang duduk di sitinggil ( siti hinggil ) didampingi Raden Ayu Rajamantri dan Marajalarang,isteri-isteri yang lain, para dayang, dan selir. Raja duduk di atas kasur berwarna hitam berukiran naga sepasang, berguling majeti keeling, tilam duduknya dari sutera. Karena mengantuk, raja berbaring, diselimuti Rajamatri. Dalam tidurnya, raja bermimpi bertemu dengan seorang putri cantik molek dan muda, Ratna Inten,” di Pakuan tak ada yang seperti itu, di bumi Jawa tak ada tolok bandingnya”.Ketika bangun, “ tatkala tabuh berbunyi,kebetulan hari jum’at”,raja amat rindu kepayang kepada putrid impiannya itu, dan pingsan tak sadarkan diri.
Setelah sadar, raja masih terbayang Ratna Inten yang”lehernya jenjang,wajah berbentuk ulasan durian,sanggul malang, dan jari-jarinya mendaun suji”. Diumumkan kepada kakak-kakak iparnya, putera-puteranya, para ponggawa, rangga kaduruhan, aria rangga, tumenggung, demang, dan ngabehi, bahwa barang siapa dapat mencari dan mewujudkan impian raja akan diberi sebahagian Negara.Namun tak seorang pun menyanggupi.
Prabu Siliwangi baru mempunyai tiga padminya,dan yang keempat ditemukan dalam mimpi. Kalau Ratna Inten ditemukan, maka genaplah mandala isteri-isteri utama raja, yakni empat isteri utama yang mengitarinya di keempat sudut ruang semesta Sunda. Sedangkan jumlah 150 isteri-isterinya yang lain, dapat berarti isteri-isteri mancapat kalimo pancer ( mandala ) dari 30 daerah kekuasaannya. Setiap daerah kekuasaannya merupakan satuan mandala, yang masing-masing sudut mandala dan pusatnya mengirimkan pasangan-sakti raja ke raja pusat mandala besar. Dari lambing-lambang ini, ingin dinyatakan bahwa wilayah kekuasaan Prabu Siliwangi waktu itu meliputi 30 negara. Pusat mandala besarnya adalah Raja di pusat Negara, yakni Pakuan.Tafsir modern bahwa Raja Siliwangi beristeri begitu banyak, dengan demikian memerosotkan wibawanya sebagai “ raja yang maniak seksual”, hendaknya dikesampingkan. Isteri-isteri raja yang 150 lebih bermakna simbolik kekuasaan berkonsep mandala.Atau 150 isteri-isterinya itu lebih berarti isteri de jure dari pada de facto.
Prabu Siliwangi atau Sri Baduga Maharaja adalah Raja Pajajaran yang mempunyai dua orang permaisuri yaitu Kentring Manik Mayang dan Nyai Subang Larang. Dari Kentring Manik Mayang, Prabu Siliwangi mempunyai putra bernama Surawisesa yang kelak menjadi pewaris takhta Pajajaran. Kentring Manik ini merupakan adik dari Prabu Amuk Marugul, Raja Japura, di kawasan Pasundan bagian pesisir utara.
Dari pernikahanannya dengan Nyai Subang Larang, Prabu Siliwangi mempunyai dua orang putra dan satu orang putri, yaitu Raden Walang Sungsang (Pangeran Cakra Buana), Nyi Mas Lara Santang (ibu Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati) dan yang ketiga Raden Kian Santang ini. Ketiga anak ini dibesarkan dalam pengajaran Islam sehingga tumbuh menjadi muslim dan muslimah yang taat. Sejak lahir Kian Santang sudah menampakkan keistimewaannya yang antara lain sudah pintar membaca Al Qur’an, membaca kejadian yang akan datang, tahu apa yang ada di pikiran orang lain, suka menolong, dan lebih dekat dengan masyarakat miskin ketimbang kalangan istana.
Asal Usul Prabu Kian Santang atau Syeh Sunan Rohmat Suci

Nama Kian Santang sudah melegenda di daerah Pasundan terutama dari cerita lesan kependekaran atau dunia persilatan. Bahkan Batalyon Infanteri 301 yang belokasi di Ngawi Jawa Timur juga bernama Batalyon Prabu Kian Santang. Saat ini Yonif 301/Prabu Kian Santang menjadi organik Kodam III/Siliwangi dan berkedudukan di Sumedang, Jawa Barat.
Kisah dari Prabu Kian Santang saat ini juga tidak lepas dari kisah spiritual dan mistis terutama pada petilasan keramat Prabu Kian Santang. Petilasan Prabu Kian Santang lebih dikenal dengan nama, makam Godog Syeh Sunan Rahmat Suci yang mana berdiri di sebuah bukit di wilayah Garut. Kisah bertemunya Kian Santang dengan Sayidina Ali R.A. di Mekka juga menjadi kisah misteri karena keduanya hidup di masa yang berbeda. Tapi kemungkinan nama Sayidina Ali di sini adalah orang lain yang mempunyai nama sama dengan sahabat Nabi Muhammad tersebut.
Kisah Prabu Kian Santang, sebenarnya pertama kali dikisahkan oleh Kakaknya Prabu Cakrabuana (Walang Sungsang) ketika menyebarkan Islam di tanah Cirebon dan Pasundan. Prabu Kian Santang lahir tahun 1315 Masehi di Pajajaran (sekarang Kota Bogor). Pada usia 22 tahun tepatnya tahun 1337 masehi Prabu Kian Santang diangkat menjadi dalem Bogor ke 2 yang saat itu bertepatan dengan upacara penyerahan tongkat pusaka kerajaan dan penobatan Prabu Munding Kawati, putra Sulung Prabu Susuk Tunggal, menjadi panglima besar Pajajaran. Guna mengenang peristiwa sakral penobatan dan penyerahan tongkat pusaka Pajajaran tersebut, maka ditulislah oleh Prabu Susuk Tunggal pada sebuah batu, yang dikenal sampai sekarang dengan nama Batu Tulis Bogor.
Prabu Cakrabuana, Kian Santang dan Sunan Gunung Jati dalam Penyebaran Agama Islam di Pasundan Pajajaran
Penyebaran agama Islam di tanah Pasundan Pajaran tak lepas dari sepak terjang Prabu Cakrabuana alias Walang Sungsang atau Cakrabumi atau Ki Samadullah, Kian Santang alias Syeh Sunan Rohmat Suci dan Syarif Hidayatullah alias Sunan Gunung Jati. Syarif Hidayatullah ini merupakan keponakan dari Walang Sungsang dan Kian Santang serta merupakan anak dari Nyi Mas Lara Santang dengan Syarif Adullah alias Syeh Maulana Akbar. Dan pada saat itu, Kerajaan Islam pertama di tanah Pasundan didirikan oleh Prabu Cakrabuana alias Walang Sungsang dan diberi nama Nagara Agung Pakungwati Cirebon.Prabu Kian Santang merupakan penyebar agama Islam di tanah Betawi khususnya daerah Karawang, dulu memang tidak ada pemisah antara tatar Sunda (yang diwakili oleh Kerajaan Pajajaran) dengan tanah Betawi. Posisinya sebagai menak atau turunan Raja menyebabkan da’wah Kian Santang cukup berpengaruh, latar belakang keilmuan dan keshalehannya adalah warisan dari ibunya Nyi Mas Subang Larang.
Dalam sejarah Godog, Kian Santang disebutnya sebagai orang suci dari Cirebon yang pergi ke Preanger (Priangan) dari pantai utara. Ia membawa sejumlah pengikut agama Islam. Sumber lainnya yang dapat dijadikan alat bantu untuk mengetahui proses perkembangan Islam di tanah Pasundan ialah artefak (fisik) seperti keraton, benda-benda pusaka, maqam-maqam para wali, dan pondok pesantren. Khusus mengenai maqam para wali dan penyebar Islam di tanah Pasundan adalah termasuk cukup banyak seperti Syeikh Abdul Muhyi (Tasikmalaya), Sunan Rahmat (Garut), Eyang Papak (Garut), Syeikh Jafar Sidik (Garut), Sunan Mansyur (Pandeglang), dan Syeikh Qura (Kerawang). Lazimnya di sekitar area maqam-maqam itu sering ditemukan naskah-naskah yang memiliki hubungan langsung dengan penyebaran Islam atau dakwah yang telah dilakukan para wali tersebut, baik berupa ajaran fiqh, tasawuf, ilmu kalam, atau kitab al-Qur’an yang tulisannya merupakan tulisan tangan.
Prabu Kian Santang dan Cerita Persilatan
Di atas sudah disinggung kalau nama Kian Santang sangat melegenda di daerah Pasundan terutama dari cerita lesan kependekaran atau cerita persilatan. Dalam dunia persilatan Kian Santang dikenal juga dengan nama Gagak Lumayung yang mempunyai kesaktian mandraguna. Konon dikisahkan bahwa dengan ajian napak sancangnya,Kian Santang mampu mengarungi lautan dengan berkuda saja. selain itu Kian Santang konon juga mempunyai Aji Suket Kalanjana yang merupakan ilmu terawangan alam gaib, dan berkembang sebagai ilmu yang dapat digunakan untuk meraga sukma dan menggerakan benda tanpa menyentuh (telekinetik).Aji Suket Kalanjana ini berfungsi mengaktifkan seluruh panca indera. Bereaksi terhadap gejala alam, baik alam sadar maupun alam mimpi. Versi para guru spiritual yang menguasainya menyebut ajian ini merupakan ilmu yang didasarkan pada gerakan rumput tertiup angin. Ia bisa bergerak kemana saja, tapi tetap pada tempatnya semula. Artinya, orang yang menguasai ilmu ini bisa memasuki dimensi gaib atau berada di alam lain tapi jasadnya tetap pada tempatnya.
Aji Suket Kalanjana ini juga dikuasai oleh Syeh Lemah Abang atau Syeh Siti Jenar. Isi Aji Suket Kalanjana ini adalah “Niat ingsun amatek ajiku si suket kalanjana, aji pengawasan soko sang hyang pramana, byar padhang jumengglang paningalingsun, sakabehing sipat podho katon saking kersaning Allah”
Petilasan Prabu Kian Santang
Pada tahun 1400 M, Prabu Kian Santang diangkat menjadi raja Pajajaran menggantikan Prabu Munding Kawati (Prabu Anapakem I). Ketika itu, usianya delapan puluh lima tahun. Namun tidak lama kemudian, dia melepaskan jabatannya. Tahta kerajaan dia serahkan pada Prabu Panatayuda, putera sulung Munding Kawati.Memang, sejak dulu Kiansantang kurang tertarik dengan jabatan dan kekuasaan. Awalnya memang dia mendalami berbagai ilmu kanuragan. Tentu saja ini ada hubungannya dengan kekuasaan. Sebab, jika ingin berkuasa waktu itu, orang harus sakti. Namun akhirnya Kian Santang lebih suka mendalami agama Islam dan menyebarkannya ke seluruh penjuru tanah Pasundan. Apalagi kini usianya sudah lanjut.
Seperti sufi pada umumnya, fase perjalanan hidup diakhiri dengan lebih mendekatkan diri pada Sang Pencipta. Konsentrasi pikiran hanya tertuju padaNya. Kian Santang hindari segala perkara yang dapat memalingkan hati pada selain Yang Di Atas. Untuk itu Kian Santang memilih uzlah, menjauhi keramaian dan gemerlap kehidupan istana.
Dikisahkan, seusai serah terima jabatan, Kian Santang pergi mencari tempat sepi dengan membawa sebuah peti. Mula-mula pergi menuju Gunung Ciremai yang cukup tinggi dan hawanya sangat dingin. Setelah sampai di sana, peti itu diletakkan di atas tanah. Ternyata si peti diam saja, tidak godeg (bergoyang). Ini tanda bahwa tempat itu tidak cocok untuk dihuni. Kemudian, Kian Santang meninggalkan tempat itu dan pergi ke arah barat menuju Tasikmalaya. Sesampainya di sebuah gunung, dia letakkan lagi peti tersebut. Ternyata si peti diam juga, tidak memberi isyarat bagus. Maka tempat itu pun dia tinggalkan.
Akhirnya, dia kembali pergi menuju arah utara, ke wilayah Garut. Ketika sampai di sebuah gunung, diletakkanlah peti petunjuk itu di atas tanah. Tiba-tiba si peti godeg alias bergoyang-goyang. Ini pertanda tempat itu baik untuk dihuni. Maka disitulah Kian Santang tinggal hingga wafatnya setelah bertafakur selama sembilan belas tahun.
Kian Santang wafat tahun 1419, dalam usia 106 tahun dan dimakamkan di Garut situ. Kini tempat itu terkenal sebagai Makam Keramat Godog atau Makam Sunan Rohmat Suci. Sekitar satu kilo meter dari tempat ini berdirilah Masjid Pusaka Keramat Godog yang konon dibangun Kian Santang semasa uzlah. Dua tempat itu menjadi bukti adanya wali yang berasal dari keluarga raja Pajajaran.
runtuhnya Kerajaan Pajajaran yang dalam mitos maung berakhir dengan penjelmaan Siliwangi dan para pengikut Pajajaran menjadi harimau di hutan Sancang. Penting untuk diketahui bahwa secara etimologis, Siliwangi, yang terdiri dari dua suku kata yaitu Silih (pengganti) dan Wangi, bermakna sebagai pengganti Prabu Wangi. Menurut para pujangga Sunda di masa lampau, Prabu Wangi merupakan julukan bagi Prabu Niskala Wastukancana yang berkuasa di Kerajaan Sunda-Galuh (ketika itu belum bernama Pajajaran) pada tahun 1371-1475. Lalu, nama Siliwangi yang berarti pengganti Prabu Wangi merupakan julukan bagi Prabu Jayadewata, cucu Prabu Wastukancana. Prabu Jayadewata yang berkuasa pada periode 1482-1521 dianggap mewarisi kebesaran Wastukancana oleh karena berhasil mempersatukan kembali Sunda-Galuh dalam satu naungan kerajaan Pajajaran.[3] Sebelum Prabu Jayadewata berkuasa, Kerajaan Sunda-Galuh sempat terpecah. Putra Wastukancana (sekaligus ayah Prabu Jayadewata), Prabu Dewa Niskala, hanya menjadi penguasa kerajaan Galuh.
Dipersatukannya
kembali Sunda dan Galuh oleh Jayadewata, membuat beliau dipandang mewarisi
kebesaran kakeknya, Prabu Wastukancana alias Prabu Wangi. Maka, para sastrawan
atau pujangga Sunda ketika itu memberikan gelar Siliwangi bagi Prabu
Jayadewata. Siliwangi memiliki arti pengganti atau pewaris Prabu Wangi. Jadi,
raja Sunda Pajajaran yang dimaksud dalam sejarah sebagai Prabu Siliwangi adalah
Prabu Jayadewata yang berkuasa dari tahun 1482-1521.
Lalu
kapan sebenarnya Kerajaan Pajajaran runtuh? Apakah pada masa Prabu Jayadewata
atau Siliwangi? Ternyata, sejarah mencatat ada lima raja lagi yang memerintah
sepeninggal Prabu Jayadewata.[4] Berikut ini periodisasi
penerintahan raja-raja Pajajaran pasca wafatnya Jayadewata alias Siliwangi :
1.)
Prabu Surawisesa (1521-1535)
2.)
Prabu Ratu Dewata (1535-1543)
3.)
Ratu Sakti (1543-1551)
4.)
Prabu Nilakendra (1551-1567)
5.)
Prabu Raga Mulya (1567-1579)
Pada
masa pemerintahan Raga Mulya lah, tepatnya tahun 1579, Kerajaan Pajajaran
mengalami kehancuran akibat serangan pasukan Kesultanan Banten yang dipimpin
Maulana Yusuf.[5] Peristiwa tersebut tercatat dalam Pustaka Rajyarajya Bhumi Nusantara parwa III sarga I halaman 219, sebagai berikut :
Pajajaran sirna ing bhumi ing ekadaci cuklapaksa
Wesakhamasa saharsa punjul siki ikang cakakala.
Artinya
:
Pajajaran
lenyap dari muka bumi tanggal 11 bagian terang bulan Wesaka tahun 1501 Saka
atau tanggal 8 Mei 1579 M.
Kemudian
bagaimana nasib Prabu Mulya? Sumber yang sama menyatakan bahwa Prabu Raga Mulya
beserta para pengikutnya yang setia tewas dalam pertempuran mempertahankan ibukota
Pajajaran yang ketika itu telah berpindah ke Pulasari, kawasan Pandeglang
sekarang. Fakta sejarah tersebut menunjukkan bahwa keruntuhan kerajaan
Pajajaran terjadi pada tahun 1579 atau 58 tahun setelah Prabu Siliwangi wafat.
Berarti Prabu Siliwangi tidak pernah mengalami keruntuhan Kerajaan yang telah
dipersatukannya. Raja yang mengalami kehancuran Kerajaan Pajajaran adalah Prabu
Raga Mulya yang merupakan keturunan kelima Prabu Siliwangi atau janggawareng[6] nya Prabu Siliwangi. Sementara Prabu Raga Mulya sendiri gugur
dalam perang mempertahankan kedaulatan negerinya dari agresi Banten. Jadi, raja
Pajajaran terakhir ini memang nga-hyang, namun bukan menjadi maung sebagaimana
diyakini masyarakat Sunda selama ini melainkan gugur di medan tempur. Dari
serangkaian bukti sejarah tersebut dapat disimpulkan bahwa mitos penjelmaan
Prabu Siliwangi dan sisa-sisa prajurit Pajajaran menjadi harimau hanya sekedar
mitos dan bukan fakta sejarah.
Bila
bukan fakta sejarah, darimana sebenarnya mitos maung yang selalu melekat pada
kisah Siliwangi dan Pajajaran itu berasal? Pertanyaan ini dapat menemukan titik
terang bila meninjau laporan ekspedisi seorang peneliti Belanda, Scipio, kepada
Gubernur Jenderal VOC, Joanes Camphuijs, mengenai jejak sejarah istana Kerajaan
Pajajaran di kawasan Pakuan (daerah Batutulis Bogor sekarang). Laporan
penelitian yang ditulis pada tanggal 23 Desember 1687 tersebut berbunyi“dat hetselve paleijs en
specialijck de verheven zitplaets van den getal tijgers bewaakt ent bewaart
wort”, yang artinya: bahwa
istana tersebut terutama sekali tempat duduk yang ditinggikan untuk raja “Jawa”
Pajajaran sekarang masih berkabut dan dijaga serta dirawat oleh sejumlah besar
harimau. Bahkan kabarnya salah satu anggota tim ekspedisi Scipio pun menjadi
korban terkaman harimau ketika sedang melakukan tugasnya.
Temuan
lapangan ekspedisi Scipio itu mengindikasikan bahwa kawasan Pakuan yang ratusan
tahun sebelumnya merupakan pusat kerajaan Pajajaran telah berubah menjadi
sarang harimau. Hal inilah yang menimbulkan mitos-mitos bernuansa mistis di
kalangan penduduk sekitar Pakuan mengenai hubungan antara keberadaan harimau
dan hilangnya Kerajaan Pajajaran. Berbasiskan pada laporan Scipio ini, dapat disimpulkan bila mitos maung lahir karena adanya kekeliruan sebagian
masyarakat dalam menafsirkan realitas.
Sesungguhnya,
keberadaan harimau di pusat Kerajaan Pajajaran bukanlah hal yang aneh,
mengingat kawasan tersebut sudah tidak berpenghuni pasca ditinggalkan sebagian
besar penduduknya di penghujung masa kekuasaan Prabu Nilakendra—ratusan tahun
sebelum tim Scipio melakukan ekspedisi penelitian.[7] Sepeninggal para
penduduk dan petinggi kerajaan, wilayah Pakuan berangsur-angsur menjadi hutan.
Bukanlah suatu hal yang aneh bila akhirnya banyak harimau bercokol di kawasan
yang telah berubah rupa menjadi leuweung tersebut.